“NU Dasawarsa & Masa Depan”
“NU
Dasawarsa & Masa Depan”
Oleh Hasan Dany Rahman |
“ Hira karep ngertai wong NU, mung pegawehane
ngincengi pesantren karo Kiyai, yo hing pas lik. Ono hing kini delengen iki,
petani kang podo macul lan dadi buruh, ugo sedulur-sedulur kabeh kang podo transmigrasi,
lan dadi TKI, kuwi yo wong NU. Hiro karep ndedekaken NU, kadung ing ndeleng
ikau, yo hing pas.”
Memahami
masyarakat NU hanya dengan memandang Pesantren dan Kiyai, sangat tidak tepat.
Disini kami petani yang mencangkul sawah dan juga jadi buruh, serta saudara
saudara kami yang keluar negeri menjadi TKI, juga masyarakat NU. Memperbaiki
masyarakat NU tanpa melihat basis seperti kami sama saja gagal.
(Nyai
Ratinah : Petani Etnis Osing, di Lereng Gunung Raung Banyuwangi. Dikutip dari buku “NU dan
NeoLiberalisme”).
Sudah
lebih dari dua bulan yang lalu NU telah merayakan harlahnya yang ke – 91 pada tanggal 31 januari 2017 tujuh bulan yang lalu, namun kita
masih saja beralih fokus dan di sibukkan oleh pemberitaan media massa tentang trending
topik yang sedang hangat – hangatnya kali ini tentang persidangan yang
kesekiankalinya yaitu “kasus korupsi
megaproyek e-Ktp”, terlepas dari kegaduhan dunia
perpolitikan di indonesia maka tak bisa di sangkal lagi bahwa warga NU tak mau
di sibukkan selalu dengan hal di luar konteks fokus aktivitas dan kegiatan
mereka masing – masing dimana salah satu
kegiatan dan agenda mereka adalah perayaan Harlah NU yang ke – 91 pada hitungan Masehi tahun ini, tak
luput seluruh lapisan masyarakat perkotaan merayakan dengan meriah harlah ormas
terbesar di indonesia ini dengan kemasan hajatan – hajatan yang berbeda pula, diperkotaan
harlah NU dilaksanakan dengan upacara-upacara meriah namun berbeda pula dengan
masyarakat NU yang didesa, dimana mayoritas NU yang didesa masih belum banyak
yang memperingati harlah organisasinya ini dengan cukup meriah laiaknya
diperkotaan, hanya sederhana tanpa ada lampu warna-warni ala majlis sholawat,
tanpa perlu panggung lebar dan megah berdiri, mereka hanya merayakannya dengan
acara selametan seperti biasa.
Perlu
diketahui, dari sekian juta masyarakat NU, selain masyarakat perkotaan lebih
dari separohnya adalah masyarakat pinggiran dan kaum pedesaan, dimana
masyarakat pedesaanlah yang merepresentasikan NU sebagai ormas yang dikenal
mengusung pola / gaya / paham tradisonal – modernis yang desentralistik ini,
sebab masyarakat pedesaan pula lah yang hingga detik ini sebagai entitas kaum
NU pinggiran ( NU Kultural )
yang setia menjaga adat istiadat, budaya serta amaliyah keagamaan dipadukan
dengan kebiasaan etnis setempat, namun sangat disayangkan mengutip curhatan
seorang Nenek Ratinah diatas akan adanya sebuah kesenjangan di dalam NU meski
nama besar NU itu sendiri adalah sesuatu yang wah dengan segala kebanggaan adat
budaya serta istiadat keagamaannya yang khas, mungkin Nenek Ratinah merasakan
bagaimana pedihnya menjalani kehidupan yang sakit dan perih dengan mengemban
budaya dan kepercayaan NU dalam lingkaran sebuah janji kesejahteraan bagi warga
NU pedesaan yang ekonominya lemah secara materiil dan lemah secara moril.
Secara
garis besar NU dan warga Nahdliyin baik yang diperkotaan maupun yang dipedesaan
memang satu entitas dari suatu perkumpulan jam’iyah kemasyarakatan keagamaan,
namun dalam hal ini progresivitas dan kapabilitas NU masih perlu dipertanyakan
sebagai sebuah lembaga masyarakat yang berbasis keagamaan, jika manakala ada
sebuah ketidak nyamanan di dalam tubuh warga Nahdliyin sendiri selaku
subordinasi dari struktur dan kultur NU dalam mengemban budaya dan adat NU yang
kokoh dan tetap ingin diakui sebaga warga NU tapi ternyata disisi lain dalam
segi sosial ekonomi masyarakat NU masih jauh dari persoalan kesejahteraan dan
kemajuan.
Dalam
interpretasi yang kami kaji selama beberapa bulan ini bersama sahabat – sahabat pergerakan menghasilkan
sebuah konklusi atau hipotesa bahwa
NU memang adalah ormas yang lahir dari Pesantren dan para Kiyai, dua elemen
yang tak dapat dipisahkan memang, namun dalam beberapa generasi terakhir
doktrin NU mulai tegerus, dengan menghilangkan kultur sejarah, bahwa diakui
atau tidak sebelum nama Nahdlatul Ulama’ resmi pendahulunya yang lahir adalah
bernama Nahdhotu Tujjar, dimana kala itu para pengusaha dari kalangan pesantren
dan rakyat menginginkan sebuah kebangkitan dan kedaulatan dalam sektor pangan
dan sosial–ekonomi, bagaimana mungkin NU melupakan ini?, jika ceritera semacam ini di tanggalkan
dan tak pernah kita sampaikan kembali, ada kemungkinan bahwasanya NU akan hanya
tinggal berkas symbol – symbol sajadah, kopiyah dan sorban saja yang diketahui
dimana hanya ulama’ dan kiyai sajalah yang menjadi tokoh dan panutan dalam
membingkai kesadaran manusia dewasa ini dalam dan di tubuh lingkungan pemuda
pemudi NU ini sendiri.
Mengingat
kembali akar sejarah kedaulatan pangan kita yang sempat dipopulerkan kembali
oleh pemerintahan hari ini dimana indonesia menjadi negara terbesar wilayah agrarianya
dengan kekuatan pangan yang melebihi negara ASEAN yang lain, namun kini kerdil
menjadi kacung pengimpor beras dari negeri – negeri jiran(tetangga) sendiri,
yang mana seolah – olah sudah
bekerja tanpa dibayar masih pula kelaparan. Disinilah peran NU memanglah tidak
mudah dan sangat perlu adanya pemerhatian dan penting untuk dievaluasi kembali
hingga sendi persoalan yang masih belum terbenahi hingga akar rumput masyarakat
pedesaan, bukan hanya melulu berbicara pesantren dan kiyai, agama dan tuhan,
namun harus membumi dengan mempersoalkan manusia dengan alamnya.
Potret
Nyata
(7
Februari 2017; Nonton bareng Film
Dokumenter “Samin Vs Semen”) kejadian ini tak sengaja saya alami mana kala
pada saat itu tersebar pamvlet di media sosial facebook beredar luas dengan timeline
ajakan nobar film “Samin Vs Semen”, tergugah hati dan fikiran maka saya hadiri
saja majelis ilmiah ini dengan penuh rasa penasaran yang tersimpan, sesampainya
dilokasi acara yang bertempat di pondok bambu caffe tepat di depan SPBU
Semampir saya dkk mulai bersalaman dan menyalami setiap peserta yang telah
hadir terlebih dahulu, untuk menunggu peserta lain yang masih belum genap hadir
sambil lalu saya membakar satu puntung rokok sambil lalu menunggu acara yang
masih belum di mulai, setelah acara di mulai maka di situlah seluruh isi film
di pertontonkan hingga selesai. (singkat cerita – kesimpulan dari isi film)
ternyata sejak tahun 2010 sampai hari ini dipegunungan Kendeng Kabupaten Rembang
hari ini bisa kita saksikan, minimnya peran ulama’-ulama’ NU setempat dan peran
serta organisasinya dalam memberikan motivasi moril dan advokasi hukum yang
tepat dalam melindungi masyarakat kaki gunung desa kendeng untuk mempertahankan
kedaulatan warisan nenek moyang
mereka yang berupa tanah berhektar-hektar luasnya yang kini terancam
diekploitasi oleh pihak investor untuk dipaksa dijadikan sebagai lahan bisnis dan didirikan Pabrik
Semen dengan iming-iming kesejahteraan dan kemajuan SDM.
Sungguh
miris Melihat saudara setanah air, saudara satu naungan NU dipaksa menjual
tanahnya dengan berbagai ancaman, tak tanggung-tanggung hingga ancaman
pembunuhan pun
bagi mereka yang enggan menjual tanahnya yang mendapat bagian untuk ditempati
lokasi pembangunan pabrik tetap terancam hidup dan penghidupannya, lebih parah
lagi masyarakat dilingkungan desa tersebut tidak mendapati perlindungan hukum
yang pasti dari pemerintah terlepas dari dukungan dan doa dari tokoh-tokoh NU
setempat.
Rasa
Perihatin yang Mengakar
Beginikata
Gus Dur dalam karya Monumentalnya Ororientasi
paham ke – Islaman
sebenarnya adalah kepentingan orang kecil dalam hampir seluruh persoalannya.
Lihat saja kata “Maslahah ‘Ammah” yang berarti kesejahteraan umum (Islamku Islam Anda Islam Kita ; Democracy Project. Halaman 20).Pandangan Gus Dur ini tak lepas dari maqolahTasharruf
al-imam ‘ala al-ra’iyyah man’uthun bi al-maslahah dan di perkuat pula
dengan adagium Dar’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalbi al-mashalih : menghindarkan kerusakan/kerugian atas ummat lebih di
utamakan atas upaya membawa keuntungan/kebaikan.
Memang pemandangan tak lazim sering
terlihat dipedesaan yang notebene masih banyak warga NU yang belum terangkat
derajat ekonomi sosialnya, betapa kurang perhatiannya “mungkin”elite NU
terhadap kaum NU pedesaan ini, tidak adanya tindakan kreatif – aktif dalam
memecahkan masalah, menjadi problema di
dalam dan di luar tubuh NU itu sendiri.
Menyambungkan pada persoalan pabrik Semen di kaki gunung kendeng Mas Guretno sebagai
kepala suku adat memang banyak berkomentarakan bahaya dan dampak kerusakan ekosistem
alam yang akan di alami bilamana proyek BUMN PT.Indosemen ini tetap berjalan dan
di berikan izin, sedangkan persiapan produksi semen daripabrik yang sudah dibangun
sudah 98,9% dan tak sesuai dengan apa yang diharapkan rakyat kebanyakan didaerah
tersebut karena sebab memaksakan kehendaklah rakyat melawan dengan berbagai cara.
Dalam
islam yang telah jelas dalam surah Al – ma’un
Tuhan telah memberikan perintah (‘Amr/Instruksi) agar dalam menjaga
kerukunan ummat bukan hanya berbicara tentang topic – topic pluralisme,
egaliterianisme, keberagaman, adat serta budayasaja tapi ada hal yang lebih
dari itu semua, yang dalam konteks kekinian kita harus saling membantu dan
menjaga segala sesuatu yang berkenaan dengan tema Kemanusiaan dan Alam.
Artinya
kita disini ingin sekali menyampaikan sesuatu yang jarang sekali masyarakat
Indonesia hususnya ummat Nahdliyin dan para elitnya yang mau dan ingin
mengetahui hal yang jarang terekspos media dimana mayoritas dari mereka enggan,
emoh dan terkesan acuh terhadap isu – isu, pemberitaan, kabar yang jika tak
mereka update mereka merasa malas untuk mengikuti lebih lanjut, padahal dibalik
kabar dan pemberitaan itu banyak fakta yang mesti ditelusuri dan diadvokasi
lebih jauh demi tadi yakni demi keberlangsungan hidup masyarakatnya dan demi integritas\marwah
organisasi ini tetap terjaga.
Refleksi
Cita dan Cinta NU
Dalam
setiap ngaji dan diskusi kami tentang ke – NU – ankami tak pernah mempersoalkan
siapa pimpinan atau pemimpin dalam NU sendiri, Namun ada hal lain yang lebih
urgen akan organisasi tercinta ini daripada berperang urat syaraf ini salah
mereka, ini salah kalian, untuk diangkat wacana serta diskursusnya lalu
kemudian dilakukan pengokohan dan pengawalan, serta berfikir secara keras dan
bekerja keras dalam memajukan tatanan sosial masyarakatnya
baik yang di pedesaan yang terbelakang mapun yang dikota yang juga terbelakang
sosial ekonominya. Sebab yang kami tahu hanyalah berharap, berharap dengan
penuh rasa hormat dan ta’dhim kepada para kiyai dan tokoh – tokoh NU untuk lebih
memperhatikan dan memiliki rasa keperihatinannya pada warga NU kultural di
pedesaan dan saudara – saudari yang lain, bahwa warga nahdliyin hari ini
membutuhkan Rahmatan lil ‘Alamin yang didengungkan oleh para elit
tokohnya dan kami hanya tahu bahwa pengajian, tahlilan, manaqiban dan
sholawatan bukanlah solusi dari setiap persoalan sosial ekonomi yang NU hadapi
hari ini.
Oleh
karena itu pemahaman kami tentang NU ialah telah lebih berumur daripada
negerinya namun masih saja lari ditempat atau stagnan dalam memfinalisasikan
seperangkat cara dan strategi dalam memajukan tatanan sosial ummat dan
jama’ahnya.Inilah tantangan NU menjelang satu
abad umurnya yang sudah melampaui umur negaranya, apakah NU bisa
menjawab tantangan demi tantangan berupa hal hal yang tak pernah diduga atau
akan tetap stagnan dalam menjawab tantangan – tantangan yang semakin hari semakin
kompleks ini. Neoliberal sistem ekonomi yang didominasi pro-asing dengan
menguras habis kekayaan surgawi negeri ini, kapitalisasi pendidikan agama yang
marak dimana mana, carut marutnya iklim perpolitikan negara yang semua hanya
mementingkan kelompok dan pribadinya masing masing bukan atas nama kolektifitas
kerakyatan, perebutan kekuasaan dengan budaya curiga dan tuduh menuduh dan
saling balas lapor, penggerogotan NU plural secara perlahan oleh kaum – kaum
radikal ektrimis kanan melalui sektor struktural, dan masih banyak persoalan
dan problema lain yang masih menjadi Pekerjaan Rumah NU dan Elit, Tokoh serta
Cendikiawannya dalam membenahi atau bahkan mereformasi gagasan baru demi Ormas
terbesar ini.
Yang saya ketahui NU saat ini memang
terlalu rancu untuk menyelesaikan satu masalah, yang mana satu masalah saja
belum terselesaikan secara internal, sudah berani mengangkat dan mau
menyelesaikan masalah yang sifatnya ekstern, maka kesenjangan sosial yang tak
kunjung usai ini sangat perlu untuk segera di selesaikan dengan win solution secararesponsif
dan aktif-komunikatif, secepat dan se-efektif mungkin, namun jika tak ada tanggapan dan respon lebih lanjut maka
bisa saja,
pupuslah harapan para Founding Fathers NU dalam membentuk organisasi
keagamaan ini agar wajah yang bernama kesenjangan enyah dari muka
pribumi ini. (Rhm/Ad)
Dzikir,
Fikir dan Amal Saleh
PC PMII Probolinggo Official
Dikelola
Oleh Bidang Media dan Informasi PC PMII Probolinggo
pcpmiiprobolinggo.go.id
Jl. MT
haryono RT/04 RW/03 Kelurahan Semampir Kraksaan Probolinggo
Komentar
Posting Komentar